Home

Selasa, 29 September 2009

Saya Bersedia Menderita

Saya merasa bahwa hidup ini begitu indah, begitu nikmat dan begitu menyenangkan. Setiap bangun pagi saya masih dapat bernafas dengan teratur dan jantung saya masih terus berdetak dengan lancar. Setiap hari saya juga masih mampu makan dalam 3 kali. Pada siang hari, saya selalu tertawa dan bersenda gurau dengan orang lain dan pada malam hari, saya sering ditemani oleh udara segar dan bintang-bintang kecil. Setiap hari kulalui rutinitas yang menyenangkan dan membahagiakan, walaupun kadang-kadang tidak semua perjalanan itu berjalan dengan mulus, namun persentasenya masih kalah jauh daripada yang mulus.

Coba kita bayangkan, Bukankah kita masih dapat makan, minum, bernafas dan menikmati seluruh keindahan alam ini setiap hari dengan baik walaupun tidak semua orang dapat merasakan semua ini dengan sesempurna mungkin. Menurut saya, perbandingan kenikmatan yang kita alami daripada penderitaan yang kita rasakan masih sangat jauh. Lebih banyak kebahagiaan yang dapat kita nikmati daripada penderitaan. Mengapa demikian ? karena penderitaan itu hanya datang sesaat dan akan berlalu secara otomotis. Tidak mungkin setiap orang menderita sepanjang hidupnya dan tidak dapat menikmati kebahagiaan. Coba kita hitung, kemungkinan besar dalam satu hari hanya satu atau dua jam kita merasakan adanya ketidaknyaman hidup namun 22 jam yang lain, kita dapat menjalani kehidupan ini dengan lancar, bagaimana bila kita hitung dalam seminggu, sebulan maupun setahun. Kita jumlahkan, berapa kali, berapa hari, berapa jam kita merasakan penderitaan hidup. Itu tidak sebanding dengan kebahagiaan yang kita dapatkan. Makan adalah bahagia, tertawa adalah bahagia, duduk tanpa ada yang menganggu adalah bahagia, berdiam diri adalah bahagia, bertemu dengan orang lain juga adalah bahagia. Apakah lebih banyak kita tertawa atau menangis dalam hidup ini ? Jawabannya memang sungguh konkrit, karena biasanya setiap manusia tidak mampu dan bersedia menerima penderitaan sedangkan kebahagiaan yang ia rasakan sudah melebihi penderitaannya.

Saya sendiri adalah seorang pribadi yang tidak takut akan penderitaan, mengapa saya dapat berpendapat seperti itu ? karena saya menyadari hidup di dunia ini tidaklah selalu menyenangkan yang harus kita terima namun penderitaan juga harus kita alami karena kita telah mendapatkan kebahagiaan maka kita harus dapat merasakan penderitaan. Itu adalah hal yang adil.


Sejak saya dilahirkan sampai sekarang, saya merasa bahwa kehidupan pribadi, sekolah, karir dan sosial saya rata-rata lebih banyak suka daripada dukanya, walaupun saya mengalami beberapa kesusahan namun saya masih mampu membuat segala situasi yang tidak menyenangkan bagi jiwa saya menjadi seimbang. Hidup ini tidaklah statis, banyak yang harus kita kejar dan taati. Hukum ini wajib kita jalani entah dikarenakan oleh intevensi dari orang tua, lingkungan sekitar maupun hukum adat dan budaya dunia ini. Saya wajib bersekolah, saya wajib mempunyai karir, saya wajib mempunyai rumah tangga. Semua ini telah tertera dan tertata sedemikian rupa sehingga belum ada yang mampu mengubahnya. Segala macam tata cara kehidupan ini saya lalui tanpa banyak hambatan. Kenyataan sampai saat ini, saya masih dapat bernafas, saya mempunyai pendidikan, saya dapat makan 3 kali dalam sehari dan saya masih dapat berpakaian. Saya belum pernah merasakan tidak bisa bernafas, tidak mendapatkan pendidikan, tidak mendapatkan makanan dan tidak mempunyai baju.

Telah banyak kebahagiaan yang saya lalui, mengapa saya tidak mau menerima adanya penderitaan. Penderitaan itu memang datang dengan sendirinya dan kadang kala tanpa kita sadari dan penderitaan itu juga dapat kita buat secara langsung maupun tidak langsung dan seingat saya yang paling tepat adalah apabila kita ingin mendapatkan kebahagiaan maka kita harus melewati berbagai macam penderitaan. Itu yang paling pasti.


Hidup adalah kebahagiaan karena kita mengejar kebahagiaan. Saya bersedia menerima segala macam penderitaan jika saya ingin mendapatkan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan juga adalah hidup. Saya ingin hidup dan saya mencari hidup. Saya akan tetap bertahan terhadap penderitaan yang seberat apapun karena saya ingin hidup dan yang paling penting adalah saya sudah menyadari bahwa telah banyak kebahagiaan yang telah saya lewati. Mengapa hanya sedikit penderitaan yang datang saja kita tidak mampu bertahan dan menerimanya ? Itulah sebabnya saya dikatakan sebagai manusia yang tahan akan kesakitan, karena saya bersedia dan saya memakluminya, karena sebuah penderitaan tidak akan bertahan lama dan akan berakhir jua diganti oleh kebahagiaan.

Anda butuh dua senjata yang baik, sebuah hati yang bersih, suatu kemauan yang kuat, untuk berbuat dan bertahan terus


I Hate Myself


Semenjak saya mulai beranjak dewasa dan telah dapat berpikir secara logis atau realitis dan telah dapat menjalani dan menikmati seluruh kehidupanku dengan mandiri maka timbullah beberapa pemikiran saya tentang bagaimana tujuan hidup ini yang sebenarnya, bagaimana caranya agar saya dapat hidup berdampingan dan bersosialiasi dengan orang lain dengan baik atau benar dan bagaimana seharusnya dapat mengetahui seluk beluk manis pahitnya kehidupan ini, seperti persaingan, permusuhan, identitas diri, formalitas masyarakat, citra diri, keakraban, kehancuran, kebangkitan, dan sebagainya.


Setelah saya mengkaji dan mengikuti semua perkembangan hidup ini sesuai dengan umur dan pengalaman saya, saya mulai merasa bahwa hidup saya tidaklah terlalu penting dan menguntungkan di bandingkan dengan orang lain, saya merasa saya cukup berbeda dengan orang lain lalu saya mencoba untuk menjadi seperti orang lain, namun saya tidak sanggunp karena saya tidak mempunyai kemampuan seperti itu. Saya terus menerus mencoba dan akhirnya saya merasa dapat menjadi seperti orang itu, namun saya masih menyadari bahwa tidak mungkin saya dapat menjadi seperti orang lain dengan sesempurna mungkin, tetap masih terdapat berbagai kekurangan walaupun saya telah berusaha sekuat tenaga, seperti saya ingin menjadi seperti orang itu yang pintar dalam bermain bola basket kemudian saya berusaha untuk mempelajarinya, namun saya tidak mampu sebaik dia dan juga saya ingin seperti orang itu yang memiliki kepintaran dalam bernyanyi, namun walaupun saya telah berusaha sekuat tenaga dengan belajar khusus dengan seorang professional namun tetap saja saya tidak bisa seperti orang itu. Lambat laun saya merasa bahwa saya adalah manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa. Saya mulai merasa kurang percaya akan diri saya sendiri.


Apapun yang saya inginkan dan saya gemari terhadap kemampuan orang lain selalu terobsesi olehku untuk mengikutinya, tidak semua hal yang ingin kupelajari namun tidak dapat dipungkiri bahwa saya belum bisa menerima diri saya apa adanya sewaktu muda karena saya ingin belajar sesuatu yang telah dahulu dibanggakan oleh orang lain terutama hal-hal yang saya sukai darinya, namun saya tidak berhasil. Jadi intinya, saya ingin menjadi seorang pengikut. Saya selalu melihat seseorang yang kukagumi keterampilannya maka saya akan mencoba untuk mengikutinya agar saya dapat menjadi seperti dia. Menurut saya hal itu adalah wajar, karena setiap manusia ingin mempelajari dan mengikuti setelah melihat dan menganggumi kemampuan orang lain, namun apakah itu selalu dapat menjadi suatu patokan bahwa kita akan berhasil menjadi seperti orang itu ? Saya belum menyadarinya.


Saya selalu, saya selalu menyalahkan diri saya pada saat itu karena tidak semudah itu mengikuti dan menjadi orang lain. Tujuan saya pada saat itu bukanlah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa saya juga mampu seperti dia, namun saya hanya ingin menjadi seperti dia yang mempunyai kemampuan yang saya sukai. Saya juga suka menyalahkan diri saya karena saya sudah berkali-kali berusaha dengan segala macam cara namun saya tidak bisa mendapatkan hasil maksimal yang saya inginkan. Yang ada di dalam benak saya adalah saya ingin menjadi yang terbaik untuk diri sendiri maupun orang lain tanpa memperhatikan kemampuan diri saya.


Saya terus menerus mempelajari sampai suatu titik dimana saya merasa bahwa saya harus menyerah, saat itu saya mulai membenci diriku sendiri dan saya menjadi kehilangan semangat dalam menjalankan apapun. Saya merasa bahwa saya tidak mempunyai kemampuan apapun, apa yang ingin saya pelajari semua sia-sia karena tidak mendapatkan hasil yang membahagiakan. Saya memendam semua perasaan ini sendiri tanpa ada satu orangpun yang mengetahuinya karena memang saya tidak suka mengumbar-umbar semua jenis perasaan kepada orang lain. Penderitaan saya hanyalah cukup saya yang alami saja. Saya juga pernah berpikir untuk mengakhiri hidup ini karena saya merasa tidak berguna. Tidak ada satu kemampuan yang dapat saya tonjolkan kepada orang lain. Semua teman-temanku mempunyai keahlian masing masing dalam dunianya, sedangkan saya hanya melihat mereka saja tanpa berbuat apa-apa. Saya juga tidak diajak mereka untuk bergabung, karena mereka menyadari bahwa tidak mungkin saya dapat sebaik mereka dan saya juga tidak bermaksud untuk bergabung lagi dengan mereka, karena saya merasa tidak mudah tidak merasakan rasa malu, kecuali terpaksa.


Saya juga membenci diri saya karena belum bisa menerima diri saya apa adanya, saya mudah terpengaruh oleh lingkungan sekelilingku, saya mudah teringat oleh ucapan orang lain, saya mudah menerima tuduhan orang lain terhadapku. Saya berusaha mengikuti orang lain namun hanyalah fisik saya semata namun hati saya tetap tidak mampu menyamainya, saya juga berusaha mencari dimana hati saya dapat bersemayam dengan orang-orang yang dapat mengerti diriku, namun itu tetap sulit, karena saya tetap tidak dapat melebihinya. Bukan saja ingin melebihinya, untuk menyamainya saja saya tidak sanggup. Saya hanya dijadikan sebagai sebuah perabot bagi orang lain, kadang-kadang memang diperlukan sesaat, namun tidaklah terlalu penting.


Pengalaman-pengalaman seperti inilah mungkin membuat saya menjadi seseorang yang mudah menyerah dan cenderung dingin, karena saya merasa bahwa untuk apa saya bersaing dengan orang lain, namun saya tidak memiliki kemampuan seperti dia, untuk apa saya memperhatikan orang lain, toh belum tentu mendapatkan dukungan darinya. Atas dasar seperti inilah yang memicu saya menjadi seorang manusia yang tidak terlalu peduli dengan lingkungan lagi. Saya menjalani kehidupan saya sendiri dengan tata cara dan perilaku saya sendiri. Saya berusaha sekuat tenaga untuk diri sendiri. Saya berhenti mengikuti orang lain demi keselamatan hidupku. Saya mulai mempelajari diri saya sendiri. Saya mulai memperhatikan diri saya sendiri, bagaimana kemampuan diri saya, bagaimana kelemahan saya sendiri dan kekuatan saya. Saya menyadari bahwa berusaha mengikuti orang lain, mempelajari, menyamai dan memperhatikan orang lain belum tentu saya akan mendapatkan hasil yang maksimal. Saya mulai tersadar dan berhenti untuk membenci diri saya.


Sampai akhirnya saya menemukan bahwa menerima segala kelemahan kita adalah yang terbaik dan tidak terobsesi mengikuti kelebihan orang lain akan membuat hidup kita menjadi lebih tenang. Secara otomatis, saya berubah menjadi seorang yang kuat dalam menghadapi hidup, cenderung menyerah jika dihadapkan untuk menyamai orang lain dan sedikit agak cuek dalam menghadapi orang lain. Itu dikarenakan oleh saya telah mengambil hikmah dari segala peristiwa yang terjadi dari hidup saya. Kini semua orang tau mengapa pribadi saya seperti ini. Saat ini adalah ini, di kemudian hari belum tentu sama, namun saya telah berhenti membenci diriku. Tujuan hidup saya adalah mengejar dan mengasah kemampuan saya sendiri bukan dari orang lain.


Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Bayangkanlah apabila terdapat seekor gajah sedang mandi dengan gembira disebuah danau, Apa yang akan terjadi bila seekora kucing/kelinci melihat kegembiraan sang gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga ?

Sabtu, 26 September 2009

Bintang Sekolah



Itu ketika masih kecil, semenjak saya berumur 16 tahun keatas, saya sudah jarang dikagumi oleh orang-orang. Mengapa saya dilahirkan dengan paras muka yang cukup bagus ketika saya masih anak-anak dan setelah bertumbuh dewasa, paras muka saya lama kelamaan menjadi semakin bertambah kurang, apakah mungkin karena faktor usia, faktor kesehatan, seperti jerawat, rambut semakin menipis atau dan lain-lainya ? tetapi tidak juga. Dunia ini sungguh sulit ditebak. Ada yang masa kecilnya cantik atau ganteng namun masa dewasanya menjadi biasa-biasa saja, dan ada yang sebaliknya. Ada juga yang dari kecil sampai dewasa tetap terlihat cantik dan ganteng. Ada pepatah yang mengatakan kecantikan adalah subjektif. Ya memang subjektif. Yang ingin saya katakan adalah kecantikan dan kegantengan secara objektif, yaitu orang yang banyak dikagumi oleh orang-orang atas penglihatannya.

Dahulu, saya jarang sekali menikmati kaca, saya juga jarang merapikan diri, namun saya tidak tahu mengapa saya selalu dijadikan pusat perhatian oleh orang lain, terutama kaum perempuan. Banyak yang mengatakan saya adalah bintang sekolah. Yang anehnya, banyak yang mengejar saya sampai ke WC, banyak yang menulis surat cinta kepada saya dan ada juga yang secara terang-terangan mengatakan saya adalah termasuk pria terganteng di sekolah itu. Saat itu yang saya rasakan adalah suatu kebanggan, namun kebanggaan itu sirna ketika saya beranjak menjadi remaja akhir. Saya merasa semua itu menjadi berubah, saya menjadi jarang diperhatikan oleh orang lain, mungkin itu disebabkan oleh pertumbuhan tinggi badan saya juga tidak semestinya seperti pria-pria ganteng lainnya, saya merasa perut saya juga agak sedikit buncit, muka saya yang dahulu mulus tanpa ada noda sedikit demi sedikit timbullah jerawat-jerawat yang bisa menghambat penampilanku. Itulah kenyataan yang harus saya hadapi.



Saya sungguh tidak mengerti apa yang saya harapkan pada saat itu, apakah peranan kegantengan yang paling penting di dalam sekolah atau ada hal lain yang lebih perlu ditonjolkan, apakah itu pendidikan, prestasi, kemampuan berbicara, dsb? Saya tidak pernah memikirkan hal itu, karena yang saya tahu di sekolah selain mendapatkan pengetahuan dan pendidikan, saya mencari kebahagiaan tertentu, yaitu bergaul dengan teman, bersenda gurau, dsb. Saya tidak memikirkan apakah saya harus menampilkan sesuatu yang terbaik di sekolah, seperti menjadi pria terpopuler, pria terganteng, pria terpandai atau pria yang paling dikagumi oleh orang lain. Saya hanya berjalan seperti air saja. Mengalir begitu saja mengikuti arus tanpa melawannya. Saya tampil sederhana dengan tidak mempedulikan apakah ada penilaian khusus dari yang lain. Saya juga menerima apa adanya ketika penilaian itu datang begitu saja tanpa saya harus berbuat sedemikian rupa sehingga mendapatkan penilian, terutama yang positif. Tidak.

Bintang Sekolah itu telah menjauh dariku sejak saya mulai beranjak memasuki sekolah akhir smp (sekolah menengah pertama), mungkin pertumbuhan saya menjadi lain dan berbeda dari dulu, saya memakluminya karena tidak mungkin saya tidak menjadi besar. Sebenarnya perubahan itu tidak terlalu mengangguku, toh saya merasa mau tidak mau kita tetap harus berubah perkembanganya, tidak mungkin kita seperti itu-itu saja. Sebenarnya pribadi saya adalah seseorang yang tidak suka mencari kepopularitas yang wajib diumbar-umbar oleh semua orang. Saya tidak pernah mempermasalahkan apakah si dia atau si pemain basket itu, si model itu yang telah menjadi bintang sekolah. Saat itu yang saya pentingkan adalah saya bisa tenang dan nyaman menjalani kehidupan sekolahku.

Namun tidak lama kemudian, bintang sekolah itu kembali melekat ke dalam diri saya. Saya juga tidak tahu mengapa hal ini bisa terjadi, dari dulu saya telah berpendapat bahwa apa yang saya lakukan adalah untuk diri saya dan bukan untuk orang lain, jadi saya tampil diri saya apa adanya tidak peduli apa ucapan orang. Bintang sekolah itu datang ketika pada akhir perpisahan sekolah, ternyata banyak orang yang telah mengatakan bahwa sayalah adalah pria yang terbaik, bukan terbaik dalam hal penampilan yang seperti dulu, tetapi terbaik dalam membantu orang dan beramah tamah dengan orang lain.

Penilaian itu telah menjadi berbeda sewaktu saya kecil dan dewasa. Sewaktu kecil saya menjadi seorang bintang sekolah dikarenakan saya mempunyai penampilan fisik yang baik dan ketika beranjak dewasa, bintang sekolah itupun beruah menjadi bintang sekolah dikarenakan saya mempunyai penampilan jiwa yang baik. Saya dinilai sebagai seorang teman baik yang mampu memberikan terbaik untuk orang lain.

Saya menilai diri saya bijaksana, entahlah ? Memang cukup baik apabila kita bisa menilai diri kita sendiri namun biasanya yang lebih efektif adalah penilaian dari orang lain, namun kita tidak boleh terlalu memegang penilaian dari orang lain, karena hidup kita adalah milik kita sendiri, kita yang menentukan hidup kita kita, hidup kita bukan tergantung oleh penilian dan ucapan orang. Kita boleh mengambil makna tertentu dari penilaian orang agar kita dapat menjadi lebih positif lagi.


Saya tidak pernah meminta diri saya sebagai bintang sekolah atau tidak, namun jika saya harus dihadapkan pada kedua pilihan tersebut, apakah menjadi bintang sekolah karena penampilan fisik atau bintang sekolah karena penampilan jiwa. Saya lebih memilih menjadi bintang sekolah karena mempunyai jiwa yang baik. Itu sebabnya mengapa seseorang terus menerus mencari jati dirinya dan apa yang bisa mereka banggakan dari diri mereka ? Tidak ada yang salah, jika mampu membanggakan penampilan fisik atau penampilah jiwa. Kemungkinan saya adalah salah satu orang yang setelah tidak dapat menampilkan fisik yang baik maka saya mencari yang lain, yaitu penampilan jiwa yang baik. Tetapi yang saya inginkan adalah kedua-duanya harus seimbang. Di dalam jiwa yang baik terdapat fisik yang baik dan sebaliknya.


Pemeliharaan hidup bukah hanya berarti memelihara tubuh, tapi pikiran dan jiwa untuk membuatnya hidup

Jumat, 25 September 2009

Saya Number 2


Saya adalah anak di posisi nomer 2. Posisi yang sungguh meragukan. Posisi yang tanggung, tidak teratas maupun terbawah, di tengah-tengah saja. Orangtuaku melahirkan 3 anak, semua laki-laki, saya berada di posisi tengah. Posisi yang menurut saya cukup sulit karena posisi ini adalah posisi yang membuat saya linglung. Saya menjadi heran karena saya diperlakukan seakan-akan diperhatikan namun dicuekin. Posisi pertama adalah posisi yang memang harus diperhatikan karena mereka adalah pemimpin bawahannya sedangkan posisi terakhir adalah posisi yang harus dijaga dan diperhatikan juga karena mereka adalah orang-orang yang paling buncit di dalam keluarga, mereka terkesan lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa, padahal belum tentu.

Mengapa posisi yang kedua ini merupakan posisi yang yang cukup berat seperti anak yang diperhatikan tetapi juga yang dicuekin, mungkin mereka berpikir bahwa anak pertama yang harus benar-benar diperhatikan secara berlebihan dan anak terakhir merupakan anak terakhir dalam hidup mereka yang wajib dibelai-belai. Bagaimana dengan nasib anak-anak yang berada di posisi kedua ? Mereka adalah anak-anak yang hanya diperhatikan secara sepintas dan kemudian diabaikan begitu saja, karena masih ada anak pertama dan anak terakhir yang lebih penting bagi mereka. Mereka cenderung luput memperhatikan anak keduanya karena seyogianya orang yang berada di tengah atau orang yang berjalan di jalan yang tengah ibaratnya seperti orang yang stabil, tidak berlebihan dan tidak mudah jatuh dan mampu berdiri sendiri karena mereka tidak ingin kalah dengan orang yang diatasnya dan harus tampil kuat terhadap orang dibawahnya. Mereka harus memperlihatkan sesosok orang yang kuat maupun lemah. Lemah karena masih ada orang di atasnya dan kuat karena masih ada orang di bawahnya. Itulah sulitnya menjadi orang tengah.

Sedangkan dalam kehidupanku, saya berusaha sekuat tenaga untuk tampil sebagai seorang manusia yang biasa-biasa saja, tidak istimewa. Menurut saya, tindakan ini yang sulit dilakukan oleh orang-orang. Saya ingin menjadi kuat, namun saya tidak ditanggapi oleh keluarga, karena masih ada abang yang lebih berkuasa daripada saya, saya ingin melebihi dia tetapi itu tidaklah mungkin, saya ingin mendominasi dalam keluarga agar saya dianggap yang paling berjasa, namun itu tidak bisa saya kembangkan, karena keterbatasan saya sebagai anak nomer dua, sedangkan saya mencoba untuk memilih menjadi manusia yang lemah dan tidak berdaya, namun itu juga sulit, karena saya mempunyai seorang adik kecil, saya harus tampil seakan-akan sayalah yang dapat membantu dia, bukanlah dia yang membantu saya sehingga mau tidak mau membuat saya hanya cukup diam dan berdiri tegak tampa berbuat apa-apa. Saya terombang ambing di dalam status keluarga. Itulah yang dinamakan oleh dilemanya anak kedua.

Lambat laun, setelah saya mengetahui bahwa saya tidak dapat berbuat apa-apa di dalam keluarga, saya berpaling atau beralih ke dunia luar, saya terpaksa harus mencari teman-teman di luar rumah, karena di luar sana, saya tidak menjadi siapa-siapa, saya tidak menjadi orang yang terkuat maupun orang yang terlemah, tidak ada seseorang yang butuh saya lindungi atau melindungi saya, saya cukup berjalan sesuka hati tanpa tekanan dari orang-orang seperti saya harus begini dan begitu. Bermacam-macam kebebasan telah kucari. Itulah sebabnya anak tengah banyak mempunyai teman di luar.

Ada satu hal lagi, anak nomer dua biasanya lebih dekat dengan ibu, mengapa demikian ? Di kala, ibu membutuhkan pendamping untuk bersosialisasi di masyarakat, ibu lebih memilih anak kedua untuk dijadikan pengikut, itu disebabkan bukan tidak ada anak lain lagi yang bisa dibawa, itu dikarenakan anak pertama terlalu besar untuk di bawa kemana-mana dan anak terakhir terlalu kecil untuk diajak bergabung. Ibu lebih memilih anak tengah sebagai pendamping ibu yang bisa diandalkan dalam segala macam urusan, namun belum tentu ibu mencurahkan seluruh perhatiannya hanya kepada anak kedua, tetap saja anak pertama yang lebih diperhatikan olehnya dan anak terakhir yang lebih dibela olehnya. Anak tengah hanya diibaratkan olehnya sebagai anak suka-suka, boleh dikerjain apapun olehnya, toh anak tengah kurang mempunyai jati diri di dalam keluarga.


Demikianlah kehidupan saya di dalam keluarga saya, saya anak nomer dua, belum tentu saya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan, belum tentu saya kehilangan kebahagiaan dan belum tentu saya tidak dapat menikmati kebahagiaan. Setiap orang mencari kebahagiaan, kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya. Kehadiran saya di keluarga ini membawa suatu warna yang berbeda, karena setiap pribadi memiliki keunikan tersendiri dan kehadirannya selalu dapat dinikmati, setiap manusia pasti memiliki kurang lebih satu atau dua keahlian yang dapat disumbangankan kepada semua orang.

Beginilah keadaan saya terlahir sebagai anak kedua, anak yang mencari jati diri di luar, anak yang mempunyai banyak teman di luar rumah dan anak yang lebih akrab dengan ibu di rumah dibandingkan dengan yang lainnya.


Belum tentu seseorang dapat dilahirkan dengan wajah rupawan, tetapi dia tentu dapat menjalani kehidupan yang indah

Jumat, 18 September 2009

Ibuku adalah makluk hidup yang paling kuat


Berbicara mengenai ibuku sungguh membuat semangat saya bangkit, Sejak saya di lahirkan di bumi ini, saya hanya mempunyai seorang ibu dan ayah, namun saya hanya selalu merasakan kehadiran ibu di sisiku. Ibuku adalah seorang wanita karir yang tidak pernah pantang menyerah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Dahulu memang ayahku yang berperan penting di dalam keluarga, namun lambat laun posisi ayahku di ambil oleh ibuku, karena ayahku lebih senang bekerja di luar lapangan daripada menetap dan konsisten memperhatikan dan mempelajari rumah tangganya.

Sejak saya berumur 10 tahun lebih, saya sudah bisa merasakan bahwa ibuku yang membanting tulang mencari nafkah kehidupan di keluarga kami, dia tidak mengeluh kepada kami atas pekerjaannya, dia tidak pernah mempermasalahkan darimana kita mendapatkan makanan dan pendidikan itu, dia tidak pernah mengungkit bahwa pekerjaannya sungguh membuatnya lelah dan kita harus tahu diri. Saya belum pernah mendengarnya seperti itu. Saya tahu dia memang sangat berambisi untuk menjaga rumah tangganya agar utuh. Walaupun dia sakit, saya tahu pikirannya bukan memikirkan kesakitannya namun usahanya.

Lalu, saya dibesarkan olehnya sampai sekarang, walaupun sekarang saya sudah hidup mandiri, pandangan dia tetap selalu mengintaiku, saya tahu itu karena setiap saya meminta bantuannya, dia rela berkorban untuk membantu saya sekuat tenaga, saya tahu apa yang dia lakukan adalah agar saya dapat hidup mandiri. Dia sangat memerlukan kemandirian. Dia selalu menerapkan prinsip kemandirian di dalam keluarga kami. Saya tahu, memang keluarga kami sekarang sudah cukup mandiri sekarang, namun ada satu hal yang kurang kusuka darinya adalah prinsip kemandiriannya kadang-kadang melibatkan orang lain, padahal menurut saya adalah kemandirian adalah berusaha sendiri sekuat tenaga tanpa meminta bantuan dari orang lain.

Dulu, rumah kami memang sangat simple dan biasa-biasa saja. Satu atap hanya dihuni oleh satu wanita saja yaitu dia. Dia memiliki anak-anak yang semua berjenis kelamin laki-laki, tentunya pekerjaan rumah tidak ada yang tertarik untuk melakukannya. Siapa yang melakukan pekerjaan rumah selain dia ? Kami juga tidak pernah memiliki inisiatif untuk membantunya. Pekerjaan rumah dikerjakan olehnya, pekerjaan di luar rumah seperti berbisnis juga dikerjakan olehnya. Dialah wanita kuat.

Bahkan kadang-kadang saya juga ingin di dominasi olehnya, namun saya tidak mau, saya mau hidup mandiri tanpa dukungan dari siapapun. Sejak saya lulus S1, saya sudah hidup mandiri sampai sekarang. Saya tidak ingin memberatkan siapapun, terutama dia. Saya mempunyai rasa malu yang tinggi terhadap keluarga, karena saya tidak mau di anggap rendah oleh mereka, saya mau bersaing, namun bersaing secara mandiri dan sehat. Kemenangan bukan didapatkan dari kekalahan seseorang. Kemenangan yang saya inginkan adalah sama-sama memang. 5-5, 4-4, yang lebih cocok disebut sebagai seri.



Memang ibuku lebih terkesan pelit dibandingkan ayahku, dahulu saya memang diberikan uang sepantasnya saja. Sangat sulit bagiku untuk berfoya-foya, ketika ingin meminta uang kepadanya, selalu saja saya mendapatkan omelan terlebih dahulu darinya, padahal pribadiku adalah orang yang tidak suka dibuat demikian. Mungkin pembelajarannya yang memotivasi saya supaya tidak menjadi orang yang manja atau yang meminta-minta saja tanpa bekerja. Dari pengajaran seperti itulah, saya menjadi seorang yang mandiri, saya bekerja sendiri tanpa mengharapkan orang lain, karena telah tertanam dalam benak saya adalah untuk apa saya meminta-minta dan akhirnya saya akan dimarahi. Saya merasa saya tidak memiliki harga diri, maka lebih baik saya berusaha sendiri. Saya tidak mau meminta-minta padahal ibuku sanggup memberiku. Saya lebih baik menjadi orang yang hidup seperti air. Dapat banyak bersyukur, tidak dapat juga tidak apa-apa. Saya tidak mau terlihat seperti orang kaya padahal miskin, dan sebaliknya. Lebih baik saya tampil apa adanya.

Menurut saya, ibuku sudah tepat caranya mendidik anak, menolong anak bukan memberikan materi kepadanya, namun menolongnya bagaimana bisa mendapatkan materi itu. Ibu memang pandai mengatur keuangan, mengatur rumah tangga, mengatur segala-segalanya, namun ada satu hal yang kurang mampu ibu berikan kepadaku adalah kasih sayang, perhatian, perasaan dan hati. Itu saja, ibuku melakukan segala hal dengan menggunakan pikiran daripada perasaan. Sama denganku. Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Saya memakluminya.

Sumbangan yang terbaik bagi kemanusiaan adalah membantu orang lain supaya mereka dapat menolong diri sendiri.


Manusia Berlebihan


Berlebihan adalah tidak baik, berlebihan menyebabkan keserakahan, keserakahan menimbulkan kesakitan, kesakitan menimbulkan penderitaan.

Sejak kecil sampai sekarang, saya merasa bahwa saya merupakan manusia yang berlebihan, apapun yang menurut saya benar dan baik, akan saya perjuangan walaupun secara berlebihan, tanpa memikirkan akibat buruk yang kemungkinan akan terjadi. Apapun yang saya rasa itu adalah sesuatu yang berguna, maka saya akan lakukan secara berlebihan dan tidak peduli dengan kata orang. Saya berbuat sesuai dengan kehendak saya dan akibatnya juga akan saya tanggung sendiri.

Saya tidak tahu siapakah yang bersalah dan berhak atas diriku. Sejak dahulu, saya memang sulit diatur sehingga siapapun sulit untuk menghentikan langkah saya untuk berbuat ataukah memang tidak ada orang yang memberiku nasehat sehingga saya berjalan dengan tanpa arah. Seingat saya, masih ada anggota keluargaku yang menasehatiku ketika saya berbuat sesuatu secara berlebihan, namun saya tidak mengubrisnya.

Saya akui memang saya termasuk manusia yang berlebihan. Saya bertindak berlebihan khususnya terhadap sesuatu yang saya suka dan saya anggap itu benar. Sebenarnya saya mengetahui berlebihan itu tidak baik, namun saya belum memikirkan akibat yang terjadi dari berlebihan. Karena saat itu saya belum mengetahui bahwa akibat itu pasti datangnya terakhir. Saya hanya berpikir bahwa jika saya berbuat sekarang, maka saya akan mendapatkan akibatnya sekarang juga, namun hukum alam tidaklah berkata demikian mudah, belum tentu apa yang kita lakukan sekarang akan mendapatkan akibatnya langsung, mungkin beberapa saat kemudian atau bahkan kita tidak tahu kapan kita mendapatkan akibatnya, tetapi yang pasti kita akan mendapatkannya. Sebuah waktu tidak dapat kita tebak sedemikian rupa.

Saya juga akui bahwa semua yang saya lakukan adalah sudah benar dan baik. Sebenarnya saya juga merasa bahwa apa yang sudah saya lakukan itu adalah tidak merugikan saya sendiri maupun orang lain, namun yang menjadi permasalahannya adalah apa yang saya lakukan selalu berlebihan sehingga itulah yang menjadi akar penyebab saya menjadi manusia yang tidak baik dan benar.

Spesifiknya adalah makanan dan perilaku sehari-hari. Jikalau, saya sudah mengetahui dan merasa benar terhadap makanan yang saya konsumsi, saya akan mengkomsumsi secara belebihan. Itu tidak benar, sewajarnya kita harus menyeimbangkannya. Begitupun juga, perilaku sehari-hari, jika saya merasa mampu dan benar melakukan sesuatu, maka saya akan melakukanya secara cepat dan berlebihan dan jika saya telah merasa bosan, maka saya tidak akan melakukannya lagi. Itu namanya tidak benar, sewajarnya adalah kita harus konsisten.

Begitulah hidup saya sejak dahulu, semua hal berlebihan yang saya lakukan sejak dahulu baru berakibat di masa sekarang, namun sekarang saya baru menyadari bahwa banyak akibat yang harus kita dapatkan bila kita melakukan sesuatu secara berlebihan. Mengapa setiap manusia akan berubah ketika mereka telah mengalami akibat buruknya ? Salah satunya adalah saya.

Pandangan yang sedemikian murni dan jelas, jika anda terikat padanya secara berlebihan, jika anda terlalu membanggakannya, jika anda terlalu menghargainya, jika anda melekat padanya, maka anda tidak mengerti, bahwa ajaran itu serupa dengan sebuah rakit, yang dipakai untuk menyeberang, dan bukan untuk dipegang erat-erat