Home

Jumat, 02 Oktober 2009

Anak yang Kalah


Dalam keluarga, saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kami mempunyai bentuk wajah yang berbeda diantara satu dengan yang lainnya. Abang saya yang paling diam di dalam keluarga sedangkan adik saya mempunyai sikap yang lebih emosional. Saya sendiri yang paling banyak bicara dan bercanda. Di saat kebersamaan, memang suara saya yang paling besar dan banyak. Hanya sayalah yang menjadi badut dalam keluargaku, karena saya suka membuat keluarga saya bahagia tertawa.


Mungkin saya memang telah menjadi badut bagi keluarga saya, badut yang bukan saja menghibur para penontonnya dengan segala macam atributnya yang lucu dan mengegerkan. Namun badut yang bisa diakali dan yang tidak dianggap penting oleh keluarga. Badut satu ini memang tidak mempunyai peranan di antara saudara kandungnya. Badut ini juga jarang didukung keberadaannya oleh keluarganya dan yang paling utama adalah badut ini selalu bersifat mengalah sehingga penilaian keluarga menjadi merasa mudah untuk menaklukkan anak ini atau menipunya namun itu belum tentu bagi badut itu sendiri.

Saya tidak mau menyebutkan diri saya sebagai badut bodoh, saya lebih senang disebut sebagai sebuah perabot, televisi atau benda mati lainnya, karena benda-benda tersebut memang tidak mempunyai peranan apapun, tidak penting namun berguna dan diperhatikan ketika sedang dibutuhkan. Jika saya dapat memilih, saya lebih memilih sebagai benda hidup.

Mengapa saya disebut sebagai badut dalam keluarga, perabot atau benda mati lainnya, karena memang saya kurang dianggap oleh keluarga. Mungkin saya juga selalu menunjukkan sifat yang kurang penting dan kurang peduli, namun sebenarnya tidaklah demikian. Saya bisa berbuat jauh lebih baik jika saya di motivasi, saya juga dapat menjadi penguasa keluarga jika saya diberikan kesempatan, namun itu belum saya dapatkan sama sekali di dalam keluarga, karena apapun keinginan saya sangat jarang diwujudkan oleh mereka. Saya hanya cukup diam dan jika ingin mendapatkan sesuatu maka dapatkanlah dengan keringat sendiri. Mengapa keluarga saya selalu memicu saya untuk hidup mandiri sedangkan saudara yang lainnya tidak demikian ?

Saya tidak pernah mengeluh dan saya juga tidak suka meminta-minta kecuali ada sesuatu yang telah genting. Jika saya mampu maka saya akan penuhi kebutuhan sendiri. Jika saya tidak mampu maka saya juga tidak suka meminta-minta, saya terkenal sebagai anak yang tidak mempunyai banyak permintaan, saya tidak meminta dibelikan motor atau mobil mewah dan saya tidak meminta makanan enak setiap hari. Hidup saya sangat sederhana di dalam rumah, tidak seperti abang dan adik saya.

Abang saya selalu dituruti keinginannya oleh keluarga sedangkan adik saya masih di pertimbangkan lagi permintaannya sedangkan saya memang tidak di anggap ada. Sebagai manusia biasa, kadang-kadang saya ingin juga meminta-minta kepada keluarga entah itu hal apapun, bukannya saya iri kepada saudara saya bahwa mereka punya sedangkan saya tidak punya, bukan itu. Kadang-kadang saya juga ingin meminta sesuatu yang benar-benar saya inginkan namun sangat jarang dipenuhi oleh mereka, tetapi ketika mereka sudah menyetujui untuk memenuhi keinginan saya maka saya berubah menjadi tidak mau. Kadang-kadang memang saya mempunyai sifat seperti itu. Saya memang lebih memilih menjadi seorang anak yang mandiri daripada meminta-minta kepada keluarga, merayu-rayu keluarga atau berucap manis menyakinkan mereka.

Diantara ketiga anak itu, sayalah yang memiliki pendidikan yang paling tinggi. Abang saya dan adik saya mungkin tidak tertarik untuk sekolah tinggi karena mungkin mereka gampang mendapatkan apa yang mereka inginkan oleh keluarga, sedangkan saya sendiri. Saya memilih untuk berusaha sendiri. Mungkin ini disebut sebagai pola pengasuhan. Jika sewaktu itu saya sering dimanjakan oleh keluarga kemungkin saya juga tidak akan berusaha sendiri dan tetap mengharapkan keluarga. Mengapa hanya saya saja yang diperlakukan seperti itu ? Saya juga tidak terlalu mengerti, mungkin sifat saya yang menunjukkan memang saya adalah anak yang tidak perlu dikasihani atau memang orangtua saya yang memang lebih pelit denganku tanpa alasan tertentu.

Saya tidak pernah mempermasalahkan perilaku keluargaku seperti ini terhadapku, saya tidak pernah mengeluh bahwa saya telah tertindas walaupun saya adalah anak kedua dan saya masih mempunyai adik, namun sayalah yang dijadikan oleh mereka yang paling tidak berarti. Saya harus dihadapkan oleh keadaan dimana saya harus memilih untuk mengalah. Tidak ada satu dukungan pun yang datang kepada saya ketika diantara kita bertiga ingin mendapatkan sesuatu dari keluarga. Biasanya anak pertama yang selalu menang dan anak ketiga kadang menang dan kadang tidak. Saya terpilih sebagai anak yang terkalahkan, karena kenyataanya memang begitu. Tidak tahu apakah saya tidak ingin memaksakan diri untuk mempertahankan diri di dalam keluarga atau memang keluarga yang tidak melihat saya ada di situ. Itu tidaklah terlalu penting dan saya tidak pernah memasukkan ke dalam hati karena saya menganggap itu hal yang sepele dan biasa, jika saya tidak memiliki apa-apa maka saya juga akan menerima. Tidak ada masalah. Tidak ada kekecewaan.

Saya telah memilih sebagai anak yang kalah atau memang saya telah dikondisikan menjadi anak yang terlanjur kalah, namun sesungguhnya saya bukanlah anak yang mudah terkalahkan. Mereka tidak tahu disamping itu masih banyak motivasi yang ingin saya wujudkan, yaitu menjaga keluarga ini tetap kondusif tanpa konflik. Memang lebih baik sayalah yang mengalah karena keluarga ini adalah milik saya. Tidak ada salahnya saya berkorban walaupun terjadi konflik batin dalam diri saya. Saya tetap adaolah seorang anak yang mengalah namun belum tentu saya telah kalah semuanya.

Jangan terperangkap dalam dualitas kemenangan dan kekalahan. Berkaryalah dengan sungguh-sungguh, sebatas kemampuan anda, selanjutnya, biarkan keberadaan yang menentukan hasil akhir

Tidak ada komentar: